Bisa
dikatakan hampir setiap hari saya menghabiskan waktu di perpusatakaan. Entah itu
kewajiban ataupun sekadar mampir begitu saja, dimana setiap mahasiswa harus
berada di dalam perpustakaan setiap pukul 19.15 hingga pukul 21.15. Satu hal
yang tidak pernah menghindar dari dalam diri saya hingga saat ini, sebuah
perasaan. Ya, perasaan kecil dan miskin. Jika menengok tiap sisi perpustakaan,
ada ribuan bahkan puluhan ribu buku tersusun rapi di sana. Di tengah-tengah
ribuan buku itulah saya menyadari betapa banyak hal yang belum saya ketahui. Betapa
minimnya pengetahuan yang saya miliki saat ini. Betapa kecilnya saya. Karena itu,
rasanya tidak berlebihan ungkapan Henry Ward Beecher, “Where is human nature so weak as in the bookstore?” Di manakah
manusia begitu nampak lemah sebagaimana ketika ia berada di toko buku? Ya, di
sanalah saya nampak begitu bodoh.
Sejatinya
perpustakaan adalah sabahat dikala suntuk dan bukan sahabat yang mempersuntuk. Sahabat
dikala bersuka. Tapi dasar si pemalas ulung, perpustakaan bak kamar dengan
kasur empuk yang siap membuat badan layu seketika. Ya, rasanya bukan antusias
malah mengantuk tak ketulungan. Lagi pula, perpustakaan yang sejatinya tempat
berdiam diri, menimba ilmu adakalanya beralih fungsi. Ya, inilah salah satu
persoalan yang butuh jawaban hingga saat di mana saya menuliskan uneg-uneg saya
ini.
Dalam
diri seharusnya menanamkan prinsip: saya harus membaca setiap hari. Saya
bersyukur, belakangan ini saya sedang bergairahnya melahap lembar demi lembar
buku. Bahkan tak tanggung dalam sehari bisa menghabiskan 2-3 jam untuk membaca.
Saya terus memompa diri untuk tidak berhenti membaca.
Yah,
semestinya tidak ada alasan untuk tidak membaca. Sesungguhnya waktu begitu
bersahabat dengan kita, bahkan adakalanya ia memanggil kita untuk menikmati
sajian penulis mancanegara yang tersusun rapi di rak buku. Rasanya saya sangat
menyesal dengan membuang banyak waktu tanpa menabung banyak ide dari mereka. Seharusnya
saya makin hari makin akrab dengan buku-buku itu. Bukankah ada pernyataan
begini, “pintar tidaknya seseorang sebenarnya sangat ditentukan seberapa intens
ia melakukan aktivitas baca.” Semakin banyak membaca dapat dijamin ia akan
semakin cerdas. Sebaliknya dapat ditebak.
Mari
menilik masyarakat di negara-negara maju. Aktivitas membaca adalah bagian
kebudayaan yang terus diperlihatkan dalam hidup sehari-hari. Lihat saja Jepang,
membaca merupakan pekerjaan wajib dilakukan terus menerus tanpa henti. Alhasil,
negara ini maju di segala bidang. Kita tidak perlu berkecil hati, meski animo
membaca di negeri kita masih kurang, tetapi setidaknya dari dalam diri kita
membuat sebuah terobosan: menjadikan membaca sebagai aktivitas wajib. Bukan sebaliknya
menjadikan kegiatan ini menjadi pengatar tidur.
Dengan
membaca kita bisa mengenal aspek kehidupan dan menyingkap misteri-misteri yang
ada di alam semesta ini. Membaca bisa mengantar kita ke dunia jauh, menerawang
menembus batas. Ketika kita menjadikan aktivitas membaca sebagai kegemaran kita
maka saat kita tidak bersua dengan buku, rasanya ada sesuatu yang hilang.
Di
sinilah refleksi ini berujung: betapa pentingnya peran buku dalam hidup dan
peradaban manusia. Tidak ada cara lain untuk membuka jendela dunia selain
membaca. Jadi, membacalah baik atau tidak baik keadaanmu, niscaya kita akan
menggenggam dunia.
No comments:
Post a Comment
Thanks so much for taking the time to leave a comment :)