twitterfacebookgoogle plusrss feedemail
Life-ex photo banner-211_zps596e9fc0.jpg
Showing posts with label Philosophy. Show all posts
Showing posts with label Philosophy. Show all posts

Friday, November 30, 2012

NIHILISME DAN EKSISTENSIALISME







 Pengertian
Nihilisme





Nihilisme
(Lat. Tidak menerima apapun) adalah
sebuah pandangan filosofi yang sering dihubungkan dengan Friedrich Nietzsche.
Nihilisme merupakan istilah umum untuk aliran-aliran Filsafat yang menyatakan
bahwa pada dirinya sendiri realitas akhirnya tidak mempunyai makna,[1] bahwa
dunia ini, terutama keberadaan manusia di dunia, tidak memiliki suatu tujuan.
Nihilis biasanya memiliki beberapa atau semua pandangan ini: tidak ada bukti
yang mendukung keberadaan pencipta, moral sejati tidak diketahui, dan etika
sekular adalah tidak mungkin. Karena itu, kehidupan tidak memiliki arti, dan
tidak ada tindakan yang lebih baik daripada yang lain.


Nihilisme apabila dilihat dari
bentuk kata kerjanya berarti meniadakan, membasmi, memusnahkan, menghapuskan,
dan melenyapkan segala eksistensi. Terminology ini dipakai Nietzsche untuk
menggambarkan bahwa apa saja yang dulu dianggap bernilai dan bermakna kini
sudah mulai memudar dan menuju keruntuhan. Dunia ini terutama keberadaan
manusia di dunia tidak memiliki tujuan.


Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia Nihilisme berati paham aliran filsafat sosial yang
tidak mengakui nilai-nilai kesusilaan, kemanusiaan, keindahan dsb, juga segala
bentuk kekuasaan pemerintahan, semua orang berhak mengikuti kemauannya sendiri.





Pengertian
Eksistensialisme


             


Para penganut paham ini tidak ada kesepakatan tentang
definisi eksistensialisme. Namun jika dilihat dari kata dasar eksistensi adalah
exist yang berasal dari bahasa Latin ex
yang berarti keluar dan sistere
berarti berdiri. Sehingga eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri
sendiri. Artinya dengan keluar dari dirinya sendiri manusia sadar tentang
dirinya sendiri; ia berdiri sebagai aku atau pribadi.


Eksistensialisme
adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang
bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam
mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui
mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar
bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas
menentukan sesuatu yang menurutnya benar.


Eksistensialisme
adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat
Barat. Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an
itu dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan
eksistensialisme adalah melulu soal kebebasan. Apakah kebebasan itu?
bagaimanakah manusia yang bebas itu? dan sesuai dengan doktrin utamanya yaitu
kebebasan, eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap
kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri.[2]   


Ada
juga yang mendefinisikan sebagai
aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu
yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa mengetahui mana yang benar
dan mana yang tidak benar.





Perbandingan





Nihilisme,
paham ini jelas menolak adanya Allah yang berkuasa dalam menciptakan alam
semesta dan berusaha untuk menghilangkan eksistensi dunia ini, secara
khusus eksistensi manusia tentang makna, tujuan, kebenaran yang komprehensif
dan nilai yang esensial. Paham ini menganggap bahwa manusia tidak diciptakan
oleh Tuhan, tetapi melalui evolusi dari seekor kera. Paham ini percaya bahwa
tidak ada kehidupan setelah kematian, yang ada hanyalah hasrat untuk bertahan
hidup.


Kelemahan
dari paham Nihilist adalah bahwa Nihilist tidak memiliki pertanggung jawaban
secara moral untuk segala perilaku yang dilakukan, khususnya berkaitan dengan
hal-hal negatif.


Sedangkan
Eksistensialisme menekankan tema eksistensi pribadi yang dibandingkan
dengan eksistensi manusia secara umum. Penekanan dari Eksistensialisme adalah
bahwa seseorang dapat menilai dan menetukan sesuatu oleh tindakannya dan
pilihannya sendiri (tidak bergantung dari standard moral yang berlaku baik
secara tertulis ataupun secara lisan). Dalam hal ini “pilihan” menjadi evaluasi
tertinggi dari tindakan yang akan diambil oleh seseorang.


Kelemahan
dari eksistensialisme: (1) standar moralitas (benar atau salahnya) perilaku
seseorang dalam masyarakat, bukan ditentukan oleh pribadi seseorang, melainkan
norma, aturan atau hukum yang menjadi kesepakatan di dalam masyarakat itu; (2)
Eksistensialist mengabaikan nilai-nilai moralitas secara objektif.


           













[1] Kamus Teologia, Gerald O’C dan Edward G
Farrugia (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 216.





[2]
http://id.wikipedia.org/wiki/Eksistensialisme




Monday, November 19, 2012

A CHRISTIAN WORLDVIEW: ESCAPE FROM REASON BY FRANCIS A SCHAEFFER







        Francis Schaeffer adalah salah satu pemikir Injili yang mencoba
mengaitkan dirinya dengan kebudayaan sekuler. Karya terbaru yang cukup
berpengaruh dalam ranah pemikiran filsafat serta teologia Kristen adalah
karyanya berjudul Escape From Reason.
Melalui buku ini Scaheffer melihat dan menganalisa secara luas bukan hanya
filsafat dan teologi tetapi juga seni dan sastra.




            Melalui
bukunya Schaeffer melihat dan menguraikan mula sekularisme yakni ketika manusia
mencoba dengan memecahkan segala sesuatu dengan otonomi pikirannya. Manusia
menjadikan pikirannya sebagai satu-satunya penentu segala sesuatu. Ia melihat
masalah yang paling krusial yang dihadapi orang Kristen hari ini berakar pada
Abad Pertengahan dan pengaruh pemikiran Aquinas pada khususnya. Aquinaslah yang
membuka jalan bagi rasionalitas otonom. Pembedaan Aquinas antara anugerah dan
alam telah memberikan tanah subur bagi keyakinan bahwa manusia bisa mandiri, otonom.


Dalam EFR Schaeffer  meneliti hubungan antara 'anugerah' dan
'alam'. Dia berpendapat bahwa alam telah perlahan-lahan telah 'memakan' kasih
karunia. Namun sebuah 'garis' atau 'celah' ada antara dunia atas seharusnya
rahmat dan alam yang lebih rendah dari alam. Masyarakat Barat telah pergi di
bawah garis ini dan itu telah menyebabkan putus asa. Putus asa ini terungkap
pertama dalam filsafat; kemudian, ia menyebar hingga seni, maka musik dan
budaya umum, sebelum mencapai teologi.


Schaeffer juga menguraikan Kesatuan antara Alam dan
Anugerah dengan mengangkat hubungan sejarah antara Renaissance dan Reformasi ia
mengkontraskan kedua pandangan dari ke dua belah pihak. Para reformator menolak
humanisme dan sepenuhnya menerima apa yang dikatakan Alkitab mengenai manusia
yang digambarkan sebagai mahluk mulia yang diciptakan sesuai rupa sang
Pencipta.


Melihat berkembangnya paham-paham bertentangan dengan
Iman Kristen, Schaeffer berkeras bahwa kekristenan masih mempunyai kesempatan
menjawab semua bentuk paham tersebut dengan rasional yang dapat
dipertanggungjawabkan. Bersama para reformator Schaeffer menekankan bahwa kita
tidak boleh menyingkirkan otoritas Kristus di dalam Alkitab. Melalui Alkitab
Schaeffer menguraikan kerangka berpikirnya tentang Allah, manusia dan alam. Ia
menegaskan segala sesuatu ada karena Tuhan yang menciptakannya. Allah itu
adalah  Allah yang dipahami dalam Alkitab
yaitu Allah yang hidup dan sungguh-sungguh berpribadi dan manusia adalah
karya-Nya yang ajaib, Allah menjadikannya secara khusus. Problem muncul ketika
manusia jatuh dalam dosa manusia mencari relasi ataupun memuaskan
keingintahuannya akan segala sesuatu diluar dirinya namun tidak mampu. Alkitab
mengajarkan sekalipun manusia hilang tanpa harapan namun ia bukan nihil.
Manusia hilang karena terpisah dengan Allah. Alkitab menunjukkan kepada manusia
jalan keluarnya dengan memproklamirkan penebusan dalam Kristus hanya dengan
melalui Kristus ada pendamaian dengan Allah dan hanya melalui cara ini manusia
bisa memahami dan menyadari keberandaannya yang sesungguhnya.


            Buku
Schaeffer Escape From Reason sudah
pasti ditulisnya untuk membuka cakrawala pemikiran dalam kekristenan. Agar
seorang Kristen memiliki Worldview yang
luas dapat menjawab problem kekinian dengan paradigma Alkitab dan dapat
dipertanggungjawabkan dengan rasional.


Sesuai dengan tujuan buku ini maka buku
ini
sepertinya tidak hanya ditujukan kepada
pembaca akademisi
saja. Namun
tidak menutup kemungkinan kepada pembaca umum jika ia memiliki ketertarikan
dengan filsafat maupun teologia.


Secara
keseluruhan
kerangka pemikiran Schaeffer
dalam menganalisa filsafat, teologia hingga seni patut diacungi jempol. Pemikiran
kritis sistematis, mendongkrak pemikiran generasi selanjutnya bahkan saya
secara personal dalam memahami baik sejarah maupun perkembangan pemikiran modern.


Melalui buku ini Schaeffer mengkomunikasikan kekristenan
ke budaya modern. Dia membangun kita untuk melihat adanya humanisme sekuler dan
menunjukkan bahwa adalah mungkin untuk berpikir dan menjadi seorang Kristen
pada saat yang sama. Buku ini memberikan pengenalan yang sangat baik untuk
ide-idenya, meskipun hal itu menunjukkan asal-usulnya dalam format kuliah: ada
beberapa catatan kaki dan referensi.


Pandangan yang ia sodorkanpun saling berintegrasi
dengan kehidupan sehingga lebih mendarat bagi pembaca. Secara sistematis
Schaeffer mengungkapkan tesis utamanya dengan gambaran, nama-nama serta ide-ide
yang mengalir yang membuat kita menikmati lembar demi lembar penuturannya.


Disayangkan dibeberapa bagian penting Schaeffer tidak
menggunakan ilustrasi. Sebenarnya Schaeffer membuat beberapa poin yang sangat
baik tentang kasih karunia dan alam menggunakan deskripsi dari karya seni dan
memiliki ilustrasi akan sangat memperkaya pengalaman membaca.


Schaeffer dengan semangat untuk mengerti kebenaran dan
dengan pemikiran kristis dan sistematis akan mengantar pembaca melihat sisi
lain dari dunia modern serta bagaimana pandangan Kristen terhadapnya. Dan akan
membantu pembaca untuk lebih memahami dunia modern dengan segala pahamnya serta
memiliki worldview yang sesuai dengan
Alkitab


Sangat
di sarankan untuk membaca buku
baik ini
sebagai referensi yang baik serta untuk
menambah bahkan memperdalam
pengetahuan
khusunya dalam bidang filsafat dan hubungannya dengan Iman Kristen
.


            Akhir kata buku Escape From Reason telah membuka
cakrawala berpikir saya secara personal. Karya yang menganggumkan penuh dengan
pemikiran yang tetap relevan dari waktu ke waktu.






Wednesday, November 14, 2012

Idealisme dan Iman Kristen







Istilah
Idealisme adalah aliran filsafat yang memandang mental dan ideasional sebagai
kunci ke hakikat realitas. Idealisme berasal dari kata ide yang artinya adalah
dunia di dalam jiwa (Plato), jadi pandangan ini lebih menekankan hal-hal
bersifat ide, dan merendahkan hal-hal yang materi dan fisik. Realitas sendiri
dijelaskan dengan gejala-gejala psikis, roh, pikiran, diri, pikiran mutlak,
bukan berkenaan dengan materi
.[1]



Masalah hubungan antara pikiran
dengan keadaan, hubungan antara jiwa dengan alam adalah masalah yang terpenting
dari seluruh filsafat. Masalahnya yang mana yang primer, jiwa atau alam.


Jawaban-jawaban yang diberikan oleh
para ahli filsafat ke masalah ini membagi mereka ke dalam dua kubu besar.
Mereka yang menegaskan bahwa jiwa ada yang primer jika dibandingkan dengan alam
merekalah kubu idealisme yang akhirnya menganggap adanya penciptaan dunia dalam
satu atau lain bentuk - dan di kalangan para ahli filsafat, Hegel, misalnya,
penciptaan ini sering menjadi lebih rumit dan mustahil daripada dalam agama Nasrani.
Yang lain, yang menganggap alam sebagai yang primer, tergolong kubu
materialisme.




Tetapi masalah hubungan antara
pikiran dengan keadaan mempunyai segi lain lagi - bagaimana hubungan pikiran
kita tentang dunia di sekitar kita dengan dunia itu sendiri? Dapatkah pikiran
kita mengenal dunia yang sebenarnya? Dapatkah kita menghasilkan pencerminan
tepat dari realitas di dalam ide-ide dan pengertian-pengertian kita tentang
dunia yang sebenarnya itu? Dalam bahasa filsafat masalah ini dinamakan masalah
identitas pikiran dengan keadaan, dan jumlah yang sangat besar dari para ahli
filsafat memberikan jawaban yang mengiyakan atas pertanyaan ini. Hegel,
misalnya, pengiyaanya sudah jelas dengan sendirinya; sebab apa yang kita kenal
di dalam dunia nyata adalah justru isi-pikirannya - yang menjadikan dunia
berangsur-angsur suatu realisasi dari ide absolut yang sudah ada di sesuatu
tempat sejak dahulukala, lepas dari dunia dan sebelum dunia. Tetapi adalah
jelas, tanpa bukti lebih lanjut, bahwa pikiran dapat mengetahui isi yang sejak
semula adalah isi-pikiran. Tetapi hal itu sekali-kali tidak merintangi Hegel
menarik kesimpulan lebih lanjut dari pembuktiannya tentang identitas pikiran
dengan keadaan yaitu bahwa filsafatnya, karena tepat bagi pemikirannya, adalah
satu-satunya yang tepat, dan bahwa identitas pikiran dengan keadaan mesti
membuktikan keabsahannya dengan jalan umat manusia segera menerjemahkan
filsafatnya dari teori ke dalam praktek dan mengubah seleruh dunia sesuai
dengan prinsip-prinsip Hegel. Ini adalah suatu khayalan yang sama-sama terdapat
pada Hegel dan pada hampir semua ahli filsafat.




Bagaimana
dengan kekristenan?


Allah
memberikan akal budi kepada Manusia melebihi binatang di bumi (Ayub 35:11).
Dengan akal budi yang diberikan Allah kepada manusia inilah, maka manusia mampu
berpikir untuk menelaah atau mengetahui dunia dan isinya, bahkan manusia mampu berpikir
tentang keberadaan Allah sebagai satu pribadi pencipta, penguasa dan pengatur
alam semesta sebagai ciptaan-Nya. Selain itu Wahyu dari Allah adalah satu
anugerah yang diberikan kepada manusia untuk mengetahui. Pengetahuan mereka
terjadi atas kehendak Tuhan semesta. Tuhan menyucikan jiwa mereka dan
diterangkan-Nya pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan Wahyu.
Jadi manusia memiliki akal yang diberikan Allah untuk mengetahui apa yang ada
disekitarnya.




Colin
Brown dalam bukunya “Filsafat dan Iman Kristen”  menuliskan Istilah Idealisme adalah sebuah
istilah yang luwes. Dalam arti yang paling luas, istilah ini menunjukkan
pandangan bahwa pikiran dan nilai-nilai rohani (spiriual) lebih penting
dibandingkan dengan hal-hal yang bersifat materi. Kant beranggapan bahwa tidak
mungkin mencapai pengetahuan mengenai dunia ini hanya melalui pemikiran
rasional saja. Sebaliknya, dia percaya akan diri yang bersifat transendental
dan keberadaan Allah, kemerdekaan, serta kekekalan yang diterima sebagai dalil.
Mengetahui sesuatu melalui idealisme merupakan satu perkembangan iman kepada
Allah sang pencipta yang ditegaskan dalam bentuk pikiran spiritual. [2]




Jika
kaum idealis menyatakan ide adalah dasar kebenaran untuk mengetahui realitas
kontras dengan iman Kristen, kebenaran sejati adalah Allah itu sendiri dan
melalui Dia saja dapat mengetahui kebenaran itu dan segala realitasnya.




Allah
memberi kita akal budi untuk mengetahui keadaan sekitar kita. Dengan memakai
akal, indera, intuisi, idealis dalam diri kita dan wahyu dari Allah, maka
manusia mampu mengetahui. Kita tidak dapat mengetahui keberadaan Allah jika
hanya dengan mengandalkan kekuatan akal kita, hanya dengan melalui Firman dan
Roh Kudus, serta pewahyuan yang dianugerahkan kepada kita, maka kita akan sedikit
mengetahui keberadaan Allah yang Maha besar dan segala pekerjaan-Nya.








[1] Bagus Lorens, Kamus Filsafat (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2005
)







[2] Colin Brown, Filsafat dan Iman Kristen, (Surabaya:
Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1994), 164.




 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

ShareThis