Istilah
Idealisme adalah aliran filsafat yang memandang mental dan ideasional sebagai
kunci ke hakikat realitas. Idealisme berasal dari kata ide yang artinya adalah
dunia di dalam jiwa (Plato), jadi pandangan ini lebih menekankan hal-hal
bersifat ide, dan merendahkan hal-hal yang materi dan fisik. Realitas sendiri
dijelaskan dengan gejala-gejala psikis, roh, pikiran, diri, pikiran mutlak,
bukan berkenaan dengan materi.[1]
Masalah hubungan antara pikiran
dengan keadaan, hubungan antara jiwa dengan alam adalah masalah yang terpenting
dari seluruh filsafat. Masalahnya yang mana yang primer, jiwa atau alam.
Jawaban-jawaban yang diberikan oleh
para ahli filsafat ke masalah ini membagi mereka ke dalam dua kubu besar.
Mereka yang menegaskan bahwa jiwa ada yang primer jika dibandingkan dengan alam
merekalah kubu idealisme yang akhirnya menganggap adanya penciptaan dunia dalam
satu atau lain bentuk - dan di kalangan para ahli filsafat, Hegel, misalnya,
penciptaan ini sering menjadi lebih rumit dan mustahil daripada dalam agama Nasrani.
Yang lain, yang menganggap alam sebagai yang primer, tergolong kubu
materialisme.
Tetapi masalah hubungan antara
pikiran dengan keadaan mempunyai segi lain lagi - bagaimana hubungan pikiran
kita tentang dunia di sekitar kita dengan dunia itu sendiri? Dapatkah pikiran
kita mengenal dunia yang sebenarnya? Dapatkah kita menghasilkan pencerminan
tepat dari realitas di dalam ide-ide dan pengertian-pengertian kita tentang
dunia yang sebenarnya itu? Dalam bahasa filsafat masalah ini dinamakan masalah
identitas pikiran dengan keadaan, dan jumlah yang sangat besar dari para ahli
filsafat memberikan jawaban yang mengiyakan atas pertanyaan ini. Hegel,
misalnya, pengiyaanya sudah jelas dengan sendirinya; sebab apa yang kita kenal
di dalam dunia nyata adalah justru isi-pikirannya - yang menjadikan dunia
berangsur-angsur suatu realisasi dari ide absolut yang sudah ada di sesuatu
tempat sejak dahulukala, lepas dari dunia dan sebelum dunia. Tetapi adalah
jelas, tanpa bukti lebih lanjut, bahwa pikiran dapat mengetahui isi yang sejak
semula adalah isi-pikiran. Tetapi hal itu sekali-kali tidak merintangi Hegel
menarik kesimpulan lebih lanjut dari pembuktiannya tentang identitas pikiran
dengan keadaan yaitu bahwa filsafatnya, karena tepat bagi pemikirannya, adalah
satu-satunya yang tepat, dan bahwa identitas pikiran dengan keadaan mesti
membuktikan keabsahannya dengan jalan umat manusia segera menerjemahkan
filsafatnya dari teori ke dalam praktek dan mengubah seleruh dunia sesuai
dengan prinsip-prinsip Hegel. Ini adalah suatu khayalan yang sama-sama terdapat
pada Hegel dan pada hampir semua ahli filsafat.
Bagaimana
dengan kekristenan?
Allah
memberikan akal budi kepada Manusia melebihi binatang di bumi (Ayub 35:11).
Dengan akal budi yang diberikan Allah kepada manusia inilah, maka manusia mampu
berpikir untuk menelaah atau mengetahui dunia dan isinya, bahkan manusia mampu berpikir
tentang keberadaan Allah sebagai satu pribadi pencipta, penguasa dan pengatur
alam semesta sebagai ciptaan-Nya. Selain itu Wahyu dari Allah adalah satu
anugerah yang diberikan kepada manusia untuk mengetahui. Pengetahuan mereka
terjadi atas kehendak Tuhan semesta. Tuhan menyucikan jiwa mereka dan
diterangkan-Nya pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan Wahyu.
Jadi manusia memiliki akal yang diberikan Allah untuk mengetahui apa yang ada
disekitarnya.
Colin
Brown dalam bukunya “Filsafat dan Iman Kristen” menuliskan Istilah Idealisme adalah sebuah
istilah yang luwes. Dalam arti yang paling luas, istilah ini menunjukkan
pandangan bahwa pikiran dan nilai-nilai rohani (spiriual) lebih penting
dibandingkan dengan hal-hal yang bersifat materi. Kant beranggapan bahwa tidak
mungkin mencapai pengetahuan mengenai dunia ini hanya melalui pemikiran
rasional saja. Sebaliknya, dia percaya akan diri yang bersifat transendental
dan keberadaan Allah, kemerdekaan, serta kekekalan yang diterima sebagai dalil.
Mengetahui sesuatu melalui idealisme merupakan satu perkembangan iman kepada
Allah sang pencipta yang ditegaskan dalam bentuk pikiran spiritual. [2]
Jika
kaum idealis menyatakan ide adalah dasar kebenaran untuk mengetahui realitas
kontras dengan iman Kristen, kebenaran sejati adalah Allah itu sendiri dan
melalui Dia saja dapat mengetahui kebenaran itu dan segala realitasnya.
Allah
memberi kita akal budi untuk mengetahui keadaan sekitar kita. Dengan memakai
akal, indera, intuisi, idealis dalam diri kita dan wahyu dari Allah, maka
manusia mampu mengetahui. Kita tidak dapat mengetahui keberadaan Allah jika
hanya dengan mengandalkan kekuatan akal kita, hanya dengan melalui Firman dan
Roh Kudus, serta pewahyuan yang dianugerahkan kepada kita, maka kita akan sedikit
mengetahui keberadaan Allah yang Maha besar dan segala pekerjaan-Nya.
[2] Colin Brown, Filsafat dan Iman Kristen, (Surabaya:
Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1994), 164.
=D7
ReplyDelete