Rasul Paulus mengawali bagian pertama pada pasal empat ini dengan pernyataan seorang yang hidup dalam Kristus tidak ada lagi perhambaan. Seorang Kristen tidak lagi hidup dibawah Hukum Taurat (HT). Karena Kristus telah menebus dari perbudakan HT. Selanjutnya untuk mengkontraskan dan memperjelas penekanan Rasul Paulus tentang tidak ada lagi perhambaan dalam hidup seorang Kristen, maka Paulus pada bagian ketiga pada pasal ini (4:21-31) memberikan contoh perbandingan antara Hagar dan Sara dalam kaitan orang merdeka dan budak. Melalui penafsiran alegoris-tipologis narasi Sara dan Hagar dalam kitab Kejadian, Paulus hendak menekankan perbedaan antara hidup di bawah HT dan Anugerah. Bagian inilah yang penulis bahas dalam paper ini.
PEMBAHASAN
1. ANAK-ANAK PERHAMBAAN (v. 21-25)
A. Penegasan Paulus
Paulus memulai perikop ini dengan nada perintah kepada jemaat Galatia yang saat itu mau hidup di bawah HT. Kata Λέγετέ μοι (pres.act.imp) yang mucul di ayat ini (21), berasal dari kata λεγω yang berarti “Katakanlah” padaku, hai kamu yang mau hidup di bawah hukum Taurat,...” Paulus pada saat itu secara aktif dan terus-menerus memerintahkan kepada anggota jemaat di Galatia untuk mengeluarkan sebuah pernyataan bahwa mereka memperoleh berkat dari dan melalui taat melakukan HT. Seolah-olah Paulus mau mengatakan hai kamu yang mendambakan hidup di bawah HT adakah kamu sanggup sepenuhnya hidup dalam HT dan kemudian menerima berkat dari ketaatanmu itu? Jawabannya sudah pasti tidak ada seorang pun yang secara sempurna dapat taat dan memenuhi seluruh tuntutan dalam HT. Dengan demikian, konsekuensi logisnya adalah mereka tidak akan mendapat berkat jika didasari oleh ketaatan pada HT. Sehingga jika jemaat ingin mendapatkan berkat dari Allah, maka mereka harus mendengarkan dan tunduk pada apa yang dikatakan HT. Paulus jelas sekali menentang akan hal itu, sebab seseorang yang telah di dalam Kristus bukanlah budak Hukum Taurat (4:25). Dalam hal ini Paulus tidak menentang HT itu, tetapi menentang penafsiran eksklusif Taurat oleh lawan-lawannya. Dalam pandangannya yang menghasilkan perpecahan dalam komunitas Kristen antara orang Kristen Yahudi dan Kristen non-Yahudi, yang menjadi jelas dalam insiden Antiokhia (2:11-14).
B. Pengertian Hukum
Kata hukum dalam bahasa Yunani adalah νομοϛ, dan kata ini memiliki arti yang luas. John Murray misalnya memberikan beberapa definisi dari kata νομοϛ yang biasa digunakan dalam PB;
“Pertama, sering digunakan untuk menunjukkan seluruh atau sebagian hukum dari PL. Kedua, ada kalanya istilah νομοϛ menunjuk kepada sistem pemerintahan yang Tuhan tetapkan di Sinai. Ketiga, istilah νομοϛ digunakan untuk menggambarkan Hukum Allah sebagai penyataan dari kehendak Allah. Keempat, kadang νομοϛ digunakan dengan arti hukum secara khusus dinyatakan dalam pertentangan dengan tuntutan mengenai pekerjaan baik yang sejak awal tertulis dalam hati manusia (Roma 2: 2:12-14). Kelima, dalam berbagai bentuk ungkapan kata νομοϛ digunakan dalam arti yang buruk untuk menunjukan kedudukan orang yang menaruh perhatian kepada hukum dan karena itu kepada perbuatan-perbuatan atas dasar hukum sebagai jalan pembenaran dan diterima oleh Tuhan. Keenam, hukum kadang-kadang digunakan untuk menggambarkan suatu asas yang berpengaruh dan menguasai.”[1]
Dalam konteks ini Hukum Taurat yang dimaksud Paulus adalah Hukum Musa yang sangat di hormati dan dijunjung tinggi oleh orang Yahudi.
Perlu diperhatikan, bahwa pada bagian ini (ayat 21), Paulus menggunakan kata θέλοντεϛ (pres.act.part) dari akar kata θελω yang berarti menginginkan/ingin/bersedia. ‘Waktu sekarang’ yang dimaksud dalam bagian ini menunjukkan sebuah pendambaan yang sedang berlangsung dari beberapa anggota gereja di Galatia untuk tujuan mengakses berkat-berkat Abraham melalui ketaatan pada HT. Keinginan anggota untuk berada di bawah HT berarti bahwa mereka belum sepenuhnya menempatkan diri mereka di bawah HT atau dengan kata lain masih berupa niatan saja. Jika diperhatikan ada sentuhan ironi dalam pertanyaan, "Katakan padaku, hai kamu yang begitu bersemangat untuk tunduk pada hukum, apakah anda sudah mendengarkan apa yang dikatakan hukum?
C. Perbandingan Hagar dan Sara
Kemudian untuk menjelaskan maksud utama Paulus tentang tidak ada lagi perhambaan dalam hidup seorang Kristen serta dalam rangka memberikan suatu penekanan yang kontras antara Taurat dan Anugerah maka di ayat 22 Paulus menggunakan contoh yang sangat dikenal dikalangan Yahudi yakni narasi Sarah dan Hagar dalam Kitab Kejadian. Barrett, sebagaimana yang dicatat oleh Longenecker, berpendapat bahwa cerita Hagar dan Sarah akan dikenal oleh para pembaca Paulus karena itu digunakan oleh kaum Yahudi untuk menyatakan bahwa hanya mereka yang tunduk kepada perjanjian Sinai, berbagi dalam berkat Abraham yang dijanjikan dan dengan demikian orang percaya bukan Yahudi harus tunduk pada hukum Musa jika mereka ingin berbagi dalam berkat Ishak.[2]
Penting untuk diperhatikan bahwa pada ayat 23 Paulus memakai kata ὰλλα (strong but), yang artinya ‘tetapi’ suatu pengontrasan yang tegas dan keras oleh Paulus, perihal hubungan antara Hagar dan Sara. Kata ‘tetapi’ di sini membuat lebih kontras pertentangan antara Hagar dan Sara. Sekarang tidak hanya status sosial kedua orang ini yang dibedakan, tetapi cara kelahiran anak mereka pun turut dikontraskan. Anak Hagar dilahirkan seperti pada umumnya. Lain halnya dengan Anak Sara yang dilahirkan melalui janji Allah.
Narasi dalam Kejadian 15 mengingatkan tentang apa yang terjadi kepada Abraham dan Sara. Dalam Kejadian 15:1-6 Abraham dan Sara menghadapi kenyataan bahwa mereka tidak mungkin memiliki anak, tidak ada ahli waris untuk memenuhi janji-janji menjadi bangsa yang besar (12:2). Kemudian dalam Kejadian 16, Abraham dan Sara melemah dalam iman mereka untuk sementara waktu dan menyusun rencana dimana mereka akan menggunakan sumber daya mereka sendiri untuk membantu Tuhan memenuhi janji-Nya. Sara memberikan Hagar, hamba-nya, kepada Abraham sehingga Hagar memberikan Abraham seorang anak (16:2), dan Abraham menamai anaknya Ismael (16:15). Jadi tidaklah mengherankan ketika Paulus berkata dalam ayat yang ke 23 bahwa Ismael lahir "menurut daging" (κατὰ σάρκα). Diperanakkan menurut daging maksudnya adalah dengan cara yang biasa atau pada umumnya. Dengan demikian juga berarti bahwa Ismael adalah hasil usaha sendiri. Abraham tidak lagi mengandalkan kuasa Allah untuk memenuhi firman-Nya. Melainkan dia memakai rencana dan sumber dayanya sendiri untuk menggenapkan apa yang Allah janjikan kepadanya.
Sedangkan Sara yang berdasarkan janji artinya adalah bahwa pada saat itu, Sara telah lewat dari batas umum bagi seorang perempuan untuk dapat memiliki anak ataupun keturunan. Tetapi di sisi lain, Allah telah berjanji akan menyediakan keturunan baginya, dan Allah menjaga perjanjian-Nya tersebut dengan Abraham. Paulus mengunakan hal ini sebagai satu contoh yang mengartikan bahwa semua janji-janji Tuhan akan diwariskan di dalam dan melalui anak Sara dan juga keturunannya tersebut. Kata janji (ὲπαγγελίας) yang muncul di ayat 23 ini bentuknya adalah kata benda, feminim, tunggal, genetif; mengindikasikan bahwa hanya ada satu janji, dan janji tersebut adalah milik dari perempuan yang merdeka yaitu Sara.
Paulus menggunakan narasi hubungan antara Abraham, Hagar dan Ismael dengan hubungan antara Abraham dan Sara dan Ishak sebagai satu kiasan untuk menjelaskan suatu kebenaran (24). Hubungan ini mengkiaskan dua Perjanjian Allah, yang pertama Perjanjian dari Gunung Sinai, yang cenderung membawa kepada perbudakan atau memimpin kepada perbudakan, yang mana Hagar dikiaskan dengan cara: “Hagar ialah gunung Sinai di tanah Arab – dan ia sama dengan Yerusalem yang sekarang, karena ia hidup dalam perhambaan dengan anak-anaknya. Tetapi Yerusalem sorgawi adalah perempuan yang merdeka, dan ialah ibu kita” (Galatia 4:25, 26). Dan ia adalah Sara, ibu dari Ishak. Dan anak-anak Perjanjian dan ahli waris dalam keluarga ini yang memandang dan percaya dan beriman kepada Allah.
Kata kiasan yang diterjemahkan oleh LAI berasal dari kata ὰλληγορούμενα (pres.pass.part) dari akar kata ὰλληγορέω yang berarti to allegorize, to use an allegory. David H. Van Daalen menjelaskan: “The word ‘allegory’ is used for a story or picture-language in which each character or image stands for some idea or quality. Paul did not mean that Sarah and Hagar had not been real people; he was using the story of the two women to emphasize a deeper spiritual truth.”[3]
Berkenaan dengan alegori atau kiasan yang diangkat oleh Paulus di ayat 24, Ben Witherington III mengatakan bahwa:
The question to be raised is whether Paul is referring to an allegory or an allegorizing transformation of a story that is not in itself an allegory, or an allegorical interpretation. It becomes clear from vss. 24-25 that either the second or the third of these is actually in view here, in all likelihood the second, for Paul adds new elements to the story itself, he does not simply interpret the OT text allegorically. In view of the history of interpretation of this text it is important to stress that allegory, allegorizing, and allegorical interpretation were not the special provenance of early jews, though certainly early jews did do these things.[4]
Perihal kata ‘Ketentuan’ dalam teks ini, Paulus menggunakan kata διαθήκαι (covenant-perjanjian), yang berbentuk noun, fem, plural, nom, yang kedudukannya sebagai subjek yang sedang dibahas dalam ayat/bagian ini. Bentuk plural dari kata ini merujuk kepada Hagar/gunung sinai dan ‘Yerusalem Sorgawi (26)’ yang sedang diperbincangkan oleh Paulus. Dalam bagian ini Paulus menggunakannya dalam pengertian teologis yang oleh Longenecker didefiniskan "a world order decreed by divine institution that contains God's definition of the basis and purpose of human life."[5] Mengenai dua perjanjian (covenant) yang Paulus maksud adalah Perjanjian lama yang berpusat pada Taurat dan Perjanjian baru yang berpusat pada Kristus, dan inilah yang diproklamirkan oleh Paulus saat itu kepada jemaat di Galatia.
Paulus menggunakan satu peristiwa historis yang figuratif (alegoris) dalam rangka memberikan suatu penekanan yang kontras antara Taurat dan Anugerah. Hagar menjadi kiasan untuk perjanjian lama dalam hukum Taurat yang disampaikan di gunung Sinai, di tanah Arab, yaitu tanah keturunan Hagar. Hagar sendiri adalah seorang hamba perempuan, maka semua keturunannya akan dilahirkan untuk diperhamba. Perjanjian lama yang berpangkal tolak dari hukum Taurat itu, juga akan menjadikan manusia sebagai hamba-hamba dari HT. Anak Hagar lahir hanya atas kehendak manusia, maka mentaati hukum merupakan hal terbaik yang dapat dilakukan oleh manusia.
2. ANAK-ANAK MERDEKA (v. 26-31)
Selanjutnya pada bagian ini Paulus mengidentifikasikan Sara sebagai Yerusalem surgawi (26). Kedua ayat ini (25-26), merupakan suatu bentuk kiastik (chiasm) sebagaimana yang dijelaskan oleh Longenecker di bawah ini:
A Hagar
B Mt. Sinai
C Slavery
D The present city of Jerusalem
D’ The Jerusalem that is above
C’ Freedom
B’ Mt. Zion
A’ Our mother
The idea of a “heavenly Jerusalem” (“the Jerusalem that is above”) has a rich Jewish background. The concept has to do with the culmination of God’s redemptive purposes in human history, the realization of God’s reign in its totality. As such, it is an eschatological concept that describes jerusalem as it will be at the end of time, often in contrast to what the city is at present. Paul’s description of “the Jerusalem that is above” as being “free” is largely dependent on the statement “who is our mother.” For although the “heavenly Jerusalem” may be presumed to be not in bondage but free, Paul’s argument for the freedom of Christian believers has rested largely on the depiction of the status of Sarah “the free woman: in vv 22-23, who, though unnamed, is the spiritual mother of the Galatians and of all Christians.[6]
Dengan bentuk ini terlihat jelas perbandingan serta tajamnya perbedaan antara tokoh Hagar dan Sara yang berimbas nantinnya pada keturunannya. Jika diperhatikan sebenarnya ini merupakan inti pokok pembicaraan Paulus pada bagian ini yaitu mengkontraskan kedua tokoh itu.
Pada ayat 26 Paulus menggunakan kata ὲλευθέρα (adj-sifat. fem.sing.nominatif) dari akar kata ὲλεύθερος yang artinya ‘merdeka’, untuk menjelaskan status dari perempuan yang sedang dikontraskannya dengan Hagar. Dalam konteks ini, kata ini memiliki pengertian merdeka dalam arti secara agama dan moral (bebas dari tuntutan agamawi) bukan merdeka secara politik atau sosial (ex: 3:28).
Ayat 27 Paulus menggunakan kata γέγραπται (karena ada tertulis) dari akar kata γραφω yang artinya tulisan mengacu pada nats Yesaya 54:1. Ayat ini adalah nubuat pemulihan Yerusalem setelah tahun pembuangan di Babel dan melibatkan pemikiran bahwa berkat dari tahun-tahun terakhir akan lebih besar dari yang sebelumnya dinikmati. Menarik Paulus menggunakan konjugasi γάρ nampaknya Paulus menggunakannya untuk mengkonfirmasi dukungannya terhadap identifikasi Sara dengan Yerusalem surgawi dan klaim seluruh umat Kristen bahwa Sara adalah ibu mereka, ibu bukan secara jasmani tetapi secara rohani.
Bagian yang menarik di ayat 28 ini terdapat pada penerjemahan konjugasi yang dipakai oleh LAI. Di mana nuansa pertentangan/pembedaan yang seharusnya dimunculkan di ayat ini dengan kata ‘tetapi (δέ)’, sebaliknya diterjemahkan oleh LAI dengan konjugasi ‘dan’. Sehingga tidak akan terasa nuansa tegas (dalam terjemahan oleh LAI), dari kalimat ataupun pernyataan Paulus yang sebenarnya hendak membedakan orang-orang Galatia sebagai anak-anak yang dilahirkan karena janji, sebagaimana halnya dengan Ishak.
Nuansa kesungguhan dari kalimat Paulus terasa menjelang 3 ayat terakhir dari perikop ini. Di mana dia memakai dan mengulang kata tetapi di 3 ayat terakhir ini (ἀλλἀ: strong but), untuk menyatakan kebenaran dari apa yang dia sampaikan kepada jemaat Galatia saat itu, bahwa mereka bukanlah anak-anak dari perhambaan melainkan anak-anak merdeka karena berasal dari perempuan yang merdeka juga (τῆς ὲλευθέρας : fem, sing, gen, yang menunjukkan bahwa hanya ada satu (singular) perempuan merdeka yang sedang diperbincangkan dalam perikop ini, dan mereka adalah bagian/milik dari (genetif) perempuan merdeka itu).
KESIMPULAN
Sara menjadi kiasan untuk orang- orang percaya perjanjian baru dalam Yesus Kristus. Perjanjian baru itu adalah cara baru yang di pakai oleh Allah untuk bersekutu dengan manusia, melalui Kristus manusia didamaikan dengan Allah. Cara baru itu tidak melalui hukum Taurat, melainkan melalui Anugerah. Anak Sara dilahirkan sebagai anak merdeka sesuai dengan janji Allah; maka semua keturunannya secara rohani yang percaya kepada Kristus tentulah manusia yang merdeka. Sedangkan Hagar menjadi kiasan untuk orang-orang yang diperbudak oleh Hukum Taurat. Sara dan Hagar dipakai oleh Paulus sebagai tipologi bagi keturunan keduanya yang kemudian hidup berdasarkan Hukum Taurat atau anugerah.
[2] Richard N. Longenecker, World Biblical Commentary - Galatians (Dallas: Word Books Publishers, 1990), 207.
[3] David H. Van Daalen, A Guide to Galatians - SPCK International Study Guide (London: Cambridge University Press, 1990), 71.
[4] Ben Witherington, Grace in Galatia-A Commentary on Paul’s Latter to the Galatians (Grand Rapids: Eerdmans Publishing, 1998), 321.
No comments:
Post a Comment
Thanks so much for taking the time to leave a comment :)