twitterfacebookgoogle plusrss feedemail
Life-ex photo banner-211_zps596e9fc0.jpg
Showing posts with label Karya Ilmiah. Show all posts
Showing posts with label Karya Ilmiah. Show all posts

Friday, February 1, 2013

JALAN HIDUP ORANG BENAR









Selain lingkungan karakter manusia sangat dipengaruhi cara
hidupnya. Cara hidup yang baik dan terpola dengan baik akan menghasilkan
karakter yang utuh dan dewasa serta baik pula. Sebaliknya cara hidup yang tidak
baik akan menghasilkan karakter yang buruk. Karakter yang dewasa akan bisa
mensyukuri dan menikmati hidupnya dalam keadaan apapun. Inilah gambaran hidup
orang benar.


 Cara hidup orang
benar inilah yang pemazmur jelaskan dalam Mazmur pertama. Mazmur 1 adalah suatu
mazmur kebijaksanaan. Pemazmur mendemonstrasikan bahwa jalan menuju kebahagiaan
adalah melalui suatu hidup yang dijalani dengan baik menurut pedoman-pedoman
yang ditetapkan oleh Tuhan, dan jalan menuju kehancuran adalah menjalani hidup
yang jahat, tanpa hukum - suatu kehidupan yang tidak menurut Taurat TUHAN.


Pada paper ini dengan kecintaan akan firman dan
kebenaran-Nya maka penulis akan mengeksposisi bagian ini sebagai bahan renungan
dan refleksi pribadi penulis selama hidup mengikut Tuhan. Sekiranya menjadi
berkat nama TUHAN dipermuliakan.





Tidak
Bergaul Dengan Orang Fasik (ayat 1)





Berbahagia itulah akibat positif yang digambarkan pemazmur
kepada orang yang berjalan di jalan yang benar  yang tidak bergaul intim dengan orang fasik.
Kata
bahagia yang digunakan dalam PL ada
dua; barukh dan asyere. Menurut catatan Ensiklopedi, “kata barukh yang sering dipakai dalam PL berarti pujian bila menghunjuk
kepada Allah (Kej 9:26, I Raj 1:48, Maz 28:7), dan bila dipakai tentang manusia
menunjuk kepada keadaan kesukaan (I Sam 26: 25, I Raj 2;45). Asyere (betapa senang! Maz 1:1) selalu
dikatakan tentang manusia ...”[1]


Kata berbahagialah mangandung arti keadaan di
mana seseorang merasa senang, kepuasan jiwa yang menggirangkan. Marie Claire
Barth mengatakan, “Berbahagialah adalah suatu seruan kegembiraan, pujian,
ajakan dan harapan. Isinya dapat bermacam-macam, namun selalu tentang hubungan
manusia (atau jemaah) dengan Tuhan.[2]
Jelas ini adalah sejenis berkat
yang dialami seseorang ketika ia hidup benar dalam konteks hubungannya dengan
Allah.


Kata yang sama dijumpai dalam Mazmur 89:16 yang mengatakan: “Berbahagialah
bangsa yang tahu bersorak-sorak, ya TUHAN, mereka hidup dalam cahaya wajah-Mu.

Mazmur 94:12 berbicara tentang
berkat dan ketaatan pada Firman : “Berbahagialah
orang yang Kauhajar, ya TUHAN, dan yang Kauajari dari Taurat-Mu.
” Ide yang
sama juga ditemukan dalam Mazmur 112:1:
Berbahagialah orang yang takut akan
TUHAN, yang sangat suka kepada segala perintah-Nya.
” Akhirnya, Mazmur 128:1 juga menghubungkan ide
berbahagia dengan “jalan “ seseorang: “Berbahagialah
setiap orang yang takut akan TUHAN, yang hidup menurut jalan yang
ditunjukkan-Nya!


Pemazmur menyadari penuh bahwa kebahagiaan sejati hanya
diperoleh ketika seorang hidup menurut Taurat Tuhan bukan berdasar hikmat dunia
dan kebahagiaan itu adalah pemberian yang cuma-cuma dari Allah. Kebehagiaan itu
bukan  diperoleh dengan pergaulan intim
dengan para pencemooh. Inilah yang pemazmur jelaskan secara progres dalam
kalimat pada ayat pertama.


Keterangan tidak berjalan, tidak berdiri dan tidak
duduk
mungkin bukan suatu keterangan untuk meningkatkan dosa, semata-mata,
tetapi ini dimaksudkan suatu hubungan yang intim. Dalam konteks ini hubungan
yang intim dengan para pencemooh. Ini adalah jenis orang-orang yang mencari
nasihat dengan diri mereka sendiri dalam keadaan berlimpah dari hikmat mereka
sendiri dan mencerca firman Allah.


Willem A. Van Gemeren berkomentar: “The godly man does not 1 walk (hālak) in the counsel of the wicked, 2
stand (‘āmād) in the way of sinners, or 3 sit (yāšāb) in the seat of mockers;
rather, he reflects on the Lord in his walking, standing, and sitting.
[3]


Orang
yang dikatakan berbahagia adalah bagi mereka yang hidup sesuai cara tertentu.
Mereka bahagia, bukan sebagai hasil dari merasakan suatu perasaan tertentu
(yang mungkin lebih mengacu kepada kepuasan), tetapi karena mereka telah
menjalani hidup dengan baik, yaitu, menurut kebenaran firman TUHAN dan tidak
bergaul intim dengan para pencemooh.





Mencintai
Taurat TUHAN (ayat 2)





Pemazmur sekarang mendapatkan kualitas positif dari tindakan
seseorang yang berbahagia. Orang itu suka dan mencintai akan Taurat TUHAN dan
merenungkannya siang dan malam.


Kata siang dan malam merupakan bahasa Merism (2 kata berlawanan mencakup
semuanya – terus menerus, senantiasa). Dengan kata lain Taurat TUHAN bukan
hanya direnungkan pada siang atau malam melainkan setiap saat, terus menerus
dalam hidup. Merenungkan Taurat TUHAN menjadi suatu gaya hidup. Taurat itu
dihidupi dalam seluruh aspek kehidupan, melalui pikiran, perkataan dan
perbuatan.


Keterangan pada Taurat
dari TUHAN
dapat mengacu  kepada
Hukum Musa atau kepada Pentateukh (Kejadian – Ulangan). Belakangan ini mengacu
kepada seluruh Perjanjian Lama. Ini dimungkinkan di sini, meskipun, dalam
konteks diskusi pemazmur akan etika orang fasik dan orang benar, bahwa apa yang
ada dalam pikirannya adalah apa saja dan semua instruksi yang diberikan Allah
untuk keuntungan manusia dengan memimpinnya dalam jalan hidup yang benar.


Istilah kesukaan muncul 126 kali dalam Perjanjian
Lama dengan beberapa perbedaan kecil dalam nuansanya. Ini bisa mengindikasikan
sesuatu yang bernilai atau berharga, misalnya dalam kasus batu-batu delima
untuk tembok Sion yang akan datang yang dinubuatkan oleh Yesaya (54:12);
batu-batu itu akan menjadi batu berharga yang didirikan oleh Tuhan
sendiri. Negeri Israel dikatakan akan menjadi negeri kesukaan sebagai
hasil dari berkat Allah yang kaya dan melebihi dari biasanya dalam Maleakhi
3:12. Ini juga menunjuk pada kerinduan-kerinduan dan keinginan-keinginan
seseorang:
2
Samuel 23:5

menyediakan suatu persamaan yang menarik dengan ayat dalam Mazmur 1.


Daud memberikan kata-kata terakhirnya sebelum ia meninggal
dan membandingkan dirinya dengan orang-orang fasik. Ia mengatakan bahwa Allah
menegakkan baginya perjanjian yang kekal, teratur dalam segala-galanya dan
terjamin, namun orang dursila akan dihamburkan. Ia mengatakan segala
keselamatannya dan segala kesukaannya Allah yang menumbuhkan. Istilah
ini juga dapat menunjuk kepada kesukaan TUHAN, kesenangan yang baik, keputusan
dan kehendak.


Dalam konteks Mazmur 1 istilah ini memiliki tambahan
pengertian yang jelas tentang “suka dan menikmati” Taurat TUHAN sehingga orang
itu merenungkannya siang dan malam. Ia telah memilih untuk tidak berjalan di
jalan orang fasik, namun sebaliknya mengambil jalan untuk merenungkan kebenaran
firman Tuhan. Mengenai kata merenungkan (hāgāh) Willem berkomentar:


The verb hagah is anomatopoeic, in
its basic meaning (to murmur or mutter, it alludes to the sound of animals (Isa
31:4, 38:14) or a moaning noise (Isa 16:7). Since the Bible, in part or as
whole, was generally not available to God’s people, they memorized and pondered
the word, the perfections of the Lord (63:6), and his mighty acts (77:12). The
alternation of the perfect and imperfect bring up the habitual aspect of
reflection on God’s word. The one who meditates continually reflectd God’s word
in life.”[4]


Dengan kata lain merenungkan dapat diartikan memikirkan
perintah-perintah, mengingat tindakan Allah yang dasyat dalam sepanjang
kehidupan. Kebiasaan ini memungkinkan orang tersebut selalu merefleksikan
firman Allah dalam hidupnya. Akibatnya perintah-perintah itu kemudian menguasai
seluruh hidup sehingga dalam hidupnya ia tidak mudah menyimpang.


Sebuah contoh yang bagus tentang prinsip merenungkan dapat
dilihat dalam Yosua 1:8. Tuhan mengatakan kepada Yosua untuk merenungkan ( Kata
Ibrani yang digunakan dalam Mazmur 1) kitab Taurat supaya engkau bertindak
hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya (bnd. Yakobus
1:22). Dan ini, tentu saja, adalah poin yang sama yang Pemazmur katakan;
renungkan firman Tuhan, mengerti, ingat, dan hidup berdasarkan itu.


Kehidupan orang benar akan selalu diisi dengan hal benar,
kegiatan-kegiatan yang bernilai dan tentunya benar. Orang benar  akan selalu mencintai, merenungkan dan
melakukan firman yang merupakan isi hati TUHAN setiap waktu dalam hidupnya.





Menghasilkan Buah (ayat 3)





Bagi orang yang suka Taurat TUHAN, yang merenungkannya siang
dan malam dan membentuk hidupnya berdasarkan hal itu, maka akan menghasilkan
berkat dalam hidupnya. Pemazmur menggambarkan orang itu seperti sebuah pohon
yang menghasilkan buahnya pada musimnya. Yeremia memakai ungkapan yang sama
dalam pembicaraan (lihat Yeremia 17:7-8).


Keterangan mengenai gagasan sebuah pohon yang ditanam,
daripada sekedar “tumbuh” mungkin mengindikasikan kemurahan ilahi dalam membawa
orang tersebut dari tempat tandus ke tempat berkat. Aliran air mungkin
menunjukkan saluran irigasi buatan yang menjamin suatu sumber air yang
terus-menerus untuk tumbuh-tumbuhan. Sebuah pohon yang dengan sengaja ditanam
dekat sumber air ini akan sungguh-sungguh menghasilkan buah. Tak bisa
dielakkan ia akan berhasil.


Sebagaimana Craigie dengan benar menunjukkan, pohon maupun
orang benar menjadikan jelas bahwa berkat pada orang benar bukanlah suatu hadiah,
namun bagian dan paket dalam menjalani hidup dalam kehendak Allah yang
dinyatakan.[5] Orang yang diberkati akan menghasilkan
buah pada musimnya, tidak perlu segera sesudah ditanam – dan ketika
situasi-situasi menjadi sulit (sebagaimana banyak mazmur menunjukkan bahwa
mereka menghasilkan buah) mereka tidak akan binasa dan layu. Berkat dalam
pengalaman mereka terbukti tidak perlu secara keuangan atau hal-hal lahiriah,
namun dengan karakter kuat dari hidup mereka dan kehadiran Allah.


Suatu gambaran akan diberkatinya orang yang berbalik dari
pembicaraan dan gaya hidup yang jahat dan sebaliknya menjalani hidup bersama
Allah berdasarkan Taurat. Apa saja yang
dibuatnya berhasil
dalam pengertian bahwa Allah memberkati hidupnya
sebagai hidup yang dipimpin Taurat.


            Pemazmur melalui Mazmur ini memberitahu
bahwa hidup orang benar tidak terlepas dari firman Tuhan. Orang benar yang
berkenan kepada TUHAN adalah mereka yang mencintai firman-Nya, merenungkan dan
melakukannya dalam hidupnya. Orang benar adalah orang yang tidak bergaul intim
dengan para pencemooh. Tidak hanya itu orang benar akan menghasilkan buah yang
sesuai jikalau ia selalu melekat pada TUHAN dan hidup menurut firman-Nya.







 










[1] W.W. Wessel, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini A-L(Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1994), 124.





[2] Marie Claire Barth &
Pareira, Kitab Mazmur 1-72 (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2009), 123.





[3] Willem A. Van Gemeren, gen. ed
Frank E. Gaebelein, The Expositor Bible
Commentary – Psalms
(Grand Rapids: Zondervan, 1991), 54.





[4] Ibid, Willem, 55.





[5] Peter C. Craigie, Psalms 1-50, Word Biblical Commentary, ed. John D. W.
Watts, vol. 19 (Waco, Texas: Word Books, Publisher, 1983), 61.




Tuesday, December 18, 2012

GEREJA SEBAGAI TUBUH KRISTUS DAN MISINYA MEMULIAKAN ALLAH









            Perjanjian Baru memberikan beberapa
gambaran yang terkenal yang dipakai untuk menerangkan tentang gereja. Selain gereja
disebut sebagai bangunan Allah (I Kor 3:9), gereja juga disebut sebagai tubuh
Kristus (Rom 12:4), sebagai mempelai perempuan Kristus (II Kor 11: 2,3), serta
ada gambaran lain yakni pokok anggur dan carang-carangnya (Yoh 15:1-8) dan
kawanan domba yang digembalakan oleh Yesus sendiri (Yoh 10:1-18).[1]
Tetapi dari semua gambaran-gambaran yang diberikan Alkitab, gambaran gereja
sebagai Tubuh Kristus adalah yang paling hidup dan penuh arti, khususnya dalam
kaitan dengan misinya.


            Berkenaan dengan misi gereja Henry
Thiessen menjelaskan setidaknya ada tujuh misi berkaitan dengan mandat yang
diberikan kepada gereja, yaitu: (1) memuliakan Allah, (2) membangun dirinya,
(3) menyucikan dirinya, (4) mendidik angota-anggotanya, (5) menginjili dunia,
(6) bertindak selaku kekuatan penahan dan penerang dalam dunia, dan (7)
memajukan segala sesuatu yang luhur.[2] Perihal
misi gereja, orang Kristen seringkali salah dalam memahami misi utamanya. Orang
Kristen beranggapan bahwa misi utama gereja adalah menginjili, padahal Alkitab
dengan jelas menyatakan bahwa gereja tidak akan memenangkan seluruh dunia bagi
Kristus (Mat. 24:12). Jika demikian apa sebenarnya misi utama gereja berkenaan
Gereja sebagai Tubuh Kristus? Dalam makalah ini penulis akan membahas topik di
atas yakni menjelaskan misi gereja berkenaan Gereja sebagai Tubuh Kristus
dengan beberapa pandangan ahli serta kesimpulan penulis sendiri.





PEMBAHASAN





A.   
GEREJA
SEBAGAI TUBUH KRISTUS


Perihal
gereja sebagai Tubuh Kristus, Paulus memberikan penjelasan kepada beberapa
jemaat yang menjadi tujuan suratnya, misalkan suratnya yang pertama kepada
jemaat di Korintus, dalam I Korintus 12:27.  Bagi Paulus metafora atau kiasan itu
mengekspresikan bagaimana hubungan yang esensial antara Kristus dan gereja-Nya.
Guthrie berpendapat bahwa gagasan gereja sebagai Tubuh Kristus menunjukan
betapa eratnya ikatan yang mempersatukan semua orang percaya.[3]  Everett Ferguson juga berpendapat bahwa yang
ingin ditekankan melalui penggambaran ini adalah pada hubungan yang nyata dan
faktual antara Kristus dan gereja. Hal ini menggambarkan karakter dan sifat
dasar dari gereja. Tubuh dapat ditemukan di dalam kesatuannya di dalam Kristus
dan Kristus memiliki kepenuhan-Nya di dalam jemaat-Nya.[4]


Gereja
sebagai Tubuh Kristus tidak pernah dapat dipikirkan tanpa mempertimbangkan  Kristus sebagai Kepala Gereja. Kristus sebagai
kepala berarti Ia mengendalikan semua anggota Jemaat-Nya. Kristus adalah sumber
kehidupan dan kepenuhan Jemaat, Dia yang paling utama, sehingga gereja tidak
dapat dipisahkan dari Kristus. Demikian pula dalam tubuh gereja ada banyak
keanekaragaman, namun segala pertentangan dan persaingan harus ditiadakan,
karena Kristuslah Kepala Jemaat, yang sepenuhnnya berkuasa atas tubuh-Nya. Semua
anggota dipersatukan di dalam Dia sehingga tubuh itu menjadi tanda dari
persekutuan yang mendalam. Dengan demikian melalui kehidupan persekutuan yang mendalam
antara Gereja sebagai Tubuh Kristus dengan Kristus sebagai Kepala Gereja, Allah
dimuliakan dan kemuliaan-Nya dinyatakan kepada dunia.





B.    
MISI
GEREJA ADALAH MEMULIAKAN ALLAH


Fakta
yang tidak dapat disangkal adalah Allah memiliki rencana agung bagi manusia.
Bahwa Allah memuliakan diri-Nya sendiri dengan mempersatukan di dalam Kristus
segala sesuatu (Ef 1:10). Rencana Allah adalah untuk menyatukan dan mendamaikan
manusia dalam Kristus supaya manusia dapat kembali melayani dan memuliakan
Penciptanya. Howard A Snyder mengatakan bahwa: “Rencana Allah adalah pemulihan
ciptaan-Nya, untuk mengatasi, dalam kepenuhan yang mulia, kerusakan yang
dilakukan kepada manusia dan alam karena kejatuhan ke dalam dosa.”[5]
Dengan kata lain Allah melalui Kristus memiliki misi bagi dunia, yaitu menebus
mereka agar mereka dapat kembali memuliakan Allah yang adalah mulia. Yesus
Kristus datang dan membentuk satu komunitas baru dalam dunia, karena misi agung
yang telah ditetapkan Allah sebelumnya yaitu memuliakan Allah.


Kristus
mendirikan gereja-Nya sendiri untuk suatu misi agung yaitu memuliakan dan
menyatakan kemuliaan Allah kepada dunia. Dengan demikian gereja memiliki misi
Kristus yaitu memuliakan Allah. Gereja sebagai tubuh Kristus harus menyatakan
dan mewujudkan kemuliaan Allah yang tidak kelihatan itu kepada dunia, agar
dunia dapat melihat kemuliaan Allah. Harun Hadiwijono mengatakan: “Jemaat
adalah tubuh Kristus, jemaat harus menampakkan Kristus di dalam  hidupnya seperti halnya dengan tubuh
menampakkan hidup orang yang memiliki tubuhnya. Di dalam cara hidupnya harus
menampakkan hidup Kristus, yang harus diterangi oleh terang Kristus dan di
bawah kuasa Kristus yang mendatangkan berkat.”[6]   


Reputasi
dan opini tentang Allah di dalam dunia dan surga tergantung sejauh mana
kemuliaan-Nya dilihat dan dinyatakan oleh gereja yaitu tubuh-Nya sendiri.[7]  Dengan kata lain kemuliaan Allah dinilai dunia
sejauh mana orang percaya hidup. Lalu bagaimana Allah dapat dimuliakan lewat
gereja-Nya? Thiessen menyebutkan tiga hal bagaimana Allah dimuliakan lewat
gereja; (1) Kita memuliakan Allah dengan menyembah Dia dalam Roh dan Kebenaran,
(2) muliakan Allah dengan doa dan puji-pujian, dan (3) kita memuliakan Allah
dengan menjalani kehidupan yang saleh.[8]


Memuliakan
Allah adalah misi utama gereja. Gereja yang telah ditebus oleh darah Kristus
harus memuliakan Allah dalam dunia ini. Dengan demikian dunia bisa melihat
wujud kemuliaan Allah melalui gereja.





KESIMPULAN


Setelah
pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa gereja tidak bisa terlepas dari
Kristus yang merupakan Kepala Gereja. Kemampuan gereja untuk mewujudkan misinya
memuliakan Allah tergantung dari relasinya dengan Kristus sebagai kepala Gereja.
Kemudian panggilan misi utama gereja adalah memuliakan Allah, dengan demikian
gereja harus senantiasa hidup memuliakan Allah, karena dunia melihat dan menilai
kemuliaan Allah melalui kehidupan gereja dalam dunia.













[1] Perihal gambaran gereja  Henry 
Thiessen secara khusus membahasnya dalam bagian pembahasan gereja yang universal. Henry Thiessen, Teologi Sistematika (Malang: Gandum Mas,
2008), 477.





[2] Thiessen, Teologi Sistematika, 509-514.





[3] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2001), 71-72.





[4] Everett Ferguson, The Church of Christ, A Biblical
Ecclesiology Today
(Grand Rapids: Eerdmans, 1996), 94.





[5] John Stott , Johannes Verkuyl,
Howard A. Snyder, Misi Menurut Perspektif
Alkitab
(Jakarta: Komunikasi Bina Kasih, 2007), 154.





[6] Harun Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1991), 374.





[7] Bahan kuliah Eklesiologi Joshua
Ong Ph.D, di STT IMAN, tanggal 2 Mei 2012. Thiessen menjelaskan bahwa tujuan
utama manusia adalah memuliakan Allah. Hal ini sama benarnya bagi orang percaya
secara pribadi maupun bagi gereja secara keseluruhan. Thiessen, Teologi Sistematika, 509.





[8] Thiessen, Teologia Sistematika, 509-510.




Friday, November 30, 2012

PANDANGAN TENTANG PENGANGKATAN ORANG-ORANG KUDUS







PENDAHULUAN


            Tidak dipungkiri salah satu isu
kontroversi dalam eskatologi adalah Kedatangan Kristus Kedua kali. Para teolog
tidak selalu sepaham mengenai Kedatangan Kristus yang kedua kali ini. Masalahnya
terletak pada apakah peristiwa itu terjadi hanya satu tahap ataukah terjadi
atas dua tahap. Sementara beberapa pangajar Alkitab percaya bahwa pengangkatan
dan kedatangan kedua itu sendiri terjadi pada saat yang bersamaan, yang lain percaya
bahwa ada dua tahap atau fase yang berbeda dari kedatangan-Nya. Paul E. Little
berkata: “Banyak golongan Injili yang membedakan antara kedatangan Kristus
untuk menjemput orang-orang kudus-Nya pada saat “pengangkatan orang-orang
kudus” dan kedatangan-Nya bersama dengan orang-orang kudus-Nya untuk menyatakan
kuasa-Nya.”[1]
Teolog Louis Berkhof misalnya menolak anggapan bahwa kedatangan Yesus kedua
kali terjadi dalam dua fase, Berkhof menegaskan: “On the basis of Scripture it should be maintained that the second coming
of the Lord will be a single event.
[2]
Sebaliknya Henry Thiessen percaya bahwa kedatangan Kristus akan terjadi dalam
dua tahap.[3]


Ketidaksepahaman
ini tentunya secara otomatis akan mempengaruhi juga pandangan terhadap pengangkatan
orang-orang kudus. Berkenaan dengan hal di atas maka pada makalah ini penulis
akan memaparkan pandangan-pandangan mengenai pengangkatan orang-orang kudus,
berikut dengan beberapa catatan terhadap pandangan-pandangan tersebut.





PEMBAHASAN


            Masalah utama yang selalu menjadi perdebatan
hangat perihal pengangkatan adalah kapan pengangkatan gereja akan terjadi
sebelum masa kesusahan, pertengahan masa kesusahan ataukah pasca masa
kesusahan. Banyak orang Kristen yang berbeda pendapat tentang hal ini.
Tiga pandangan utama: Pratribulasi,
Midtribulasi, dan Pascatribulasi.





A.     Pandangan
Pra-masa Kesusahan (Pretribulation)


Pandangan
yang pertama mengajarkan bahwa Kristus akan datang di udara, membangkitkan
orang-orang mati dalam Kristus dari zaman gereja (I Tes 4:16), dan mengangkat gereja-Nya
untuk bisa bersama dengan Dia sebelum masa kesusahan dimulai, sehingga
menyelamatkan mereka dari hari kemurkaan yang akan menimpa seluruh bumi.
Seperti yang dikatakan John F. Walvoord: “The
wrath of God will be poured out upon the world during the great tribulation
.”[4] Paul
D. Feinberg menguraikan empat argumen alkitabiah untuk mendukung pandangan ini,
yakni pertama, the promise of
exemption from divine wrath, kedua,
the church is promised exemption not only from divine wrath but also from the
time of wrath; ketiga, the necessity
of an interval between the rapture of the church and second coming of Christ; terakhir, the differnces between rapture
passages and second cominng passages.[5] Dunia
kemudian akan berjalan melewati tujuh tahun masa kesusahan, lalu Kristus akan
menyelesaikan kedatangan-Nya dengan turun dalam kuasa dan kemuliaan besar ke
bumi untuk mendirikan kerajaan seribu tahun-Nya.


B.     Pandangan
Pertengahan Masa Kesusahan (Midtribulation)


Pandangan
ini mengajarkan bahwa gereja akan
masuk dan melalui paruh pertama masa
kesusahan
atau tiga
setengah tahun pertama dari masa Tribulasi.
Setelah tiga setengah tahun masa
Tribulasi
Kristus akan datang di udara untuk mengangkat
gereja-Nya dan membangkitkan yang mati dalam Kristus (I Tes 4:16,17) dipertengahan
tujuh tahun itu, sebelum berlangsungnya masa kesusahan besar selama tiga
setengah tahun lagi. Kemudian Kristus datang dalam kemuliaan untuk menegakkan
kerajaan-Nya.
Millard
Erickson mengatakan: “Midtribulationism teaches that the church will be present
on earth during, and thus will experience, a portion of the tribulation, but
then will be removed before the worst of tribulation.”[6]
Jadi menurut pandangan ini gereja diangkat di pertengahan masa Tribulasi.


C.     Pandangan
Pasca Masa Kesusahan (Posttribulation)


Secara
umum pandangan ini mengajarkan bahwa gereja akan berjalan melewati keseluruhan
masa kesusahan. Seperti yang dikatakan Millard Erickson: “The first major feature of posttribulationism is of course that the
church will not be removed from the world prior to tribulation but will go
through it, enduring it by the grace and strength of God
.”[7]
Lanjutnya Erickson menguraikan tiga prinsip utama posttribulationism; Pertama, the church’s presence in the
tribulation; kedua, the meeting “in
the air”; ketiga, the restrainer’s
removal.[8]  Menurut pandangan ini banyak orang-orang kudus
akan mati sebagai martir, dan bahwa Tuhan akan membangkitkan orang-orang
percaya yang sudah mati sampai waktu itu dan mengangkat orang-orang kudus yang
masih hidup pada saat itu dengan mengangkat mereka ke arah-Nya ketika Dia
sendiri turun, dan kemudian menyelesaikan kedatangan-Nya ke bumi dalam kuasa
untuk mendirikan kerajaan-Nya.


Setelah
melihat setiap pandangan di atas maka sangatlah penting untuk mengenali tujuan
dari Tribulasi. Menurut Daniel 9:27 ada tujuh “masa” (7 tahun) yang masih akan
datang. Keseluruhan nubuat Daniel mengenai tujuh puluh masa (Daniel 9:20-27)
berbicara mengenai bangsa Israel. Ini adalah masa di mana Tuhan memusatkan
perhatianNya secara khusus pada Israel.[9] Ayat
Alkitab yang utama mengenai Pengangkatan orang percaya adalah 1 Tesalonika
4:13-18. Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa setiap orang percaya, bersama dengan
orang-orang percaya yang telah meninggal, akan bertemu dengan Tuhan di angkasa
dan akan bersama-sama dengan Dia selama-lamanya. Pengangkatan orang percaya
adalah Tuhan memindahkan umatNya dari bumi ini. Dalam 5:9 Paulus mengatakan,
“Karena Allah tidak menetapkan kita untuk ditimpa murka, tetapi untuk beroleh
keselamatan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.”


Kitab
Wahyu yang secara utama berbicara mengenai masa Tribulasi adalah berita
nubuatan mengenai bagaimana Tuhan akan mencurahkan murkaNya atas bumi ini pada
saat Tribulasi. Adalah tidak konsisten untuk Tuhan menjanjikan orang-orang
percaya bahwa mereka tidak akan mengalami murka Tuhan namun membiarkan mereka
di bumi pada masa Tribulasi. Fakta bahwa Allah berjanji melepaskan orang-orang
Kristen dari murkaNya tidak lama setelah berjanji untuk menyingkirkan umatNya
dari bumi ini nampaknya menghubungkan kedua peristiwa ini.
Feinberg
berkata:


All agree that
God has exempted the church from divine wrath. Thus, there is at least this
point of agreement, the belief that the true church is exempt from divine
wrath. However, before examining the Scripture texts that support this
principle. First, this exemption from wrath does not mean that the church will
never experience trial, persecution, or suffering, see John 16:33 Phil 1:27; 1
Thess 3:3; 1 Pet 4:12, 13. Second, the ground for the exemption is not that Jesus
Christ on the cross has borne our wrath so that we will not come into wrath.”[10]





Bagian Alkitab lain
yang krusial mengenai waktu dari Pengangkatan orang percaya adalah Wahyu 3:10.
Di sana Kristus berjanji melepaskan orang-orang percaya dari “hari pencobaan”
yang akan datang atas seluruh dunia. Ini dapat berarti Kristus berjanji untuk
memelihara orang-orang percaya dari masa pencobaan, yaitu Tribulasi. Thiessen
berkata:“ Janji dalam Wahyu 3:10 agaknya bukan saja bahwa Allah akan melindungi
orang-orang yang setia dari pencobaan, seakan-akan hendak menjadi perisai
mereka, tetapi bahwa Ia akan menyelamatkan mereka dari hari pencobaan itu.”[11]
Tujuan dari Tribulasi, tujuan dari Pengangkatan orang percaya, arti dari 1
Tesalonika 5:9, dan penafsiran Wahyu 3:10 semua memberi dukungan jelas pada
pandangan Pratribulasi. Jikalau Alkitab ditafsirkan secara harafiah dan
konsisten, pandangan Pratribulasi adalah pandangan yang paling konsisten dengan
Alkitab.





KESIMPULAN


            Dari pembahasan di atas dapat
disimpulkan pertama, fakta  yang tidak dapat disangkal adalah bahwa
Kristus akan datang kembali. Kedua,
meskipun Alkitab jelas menunjukkan fakta bahwa Kristus akan datang kembali,
tetapi tidaklah sama jelasnya tentang apakah Kristus akan datang kembali untuk
gereja-Nya sebelum, di tengah atau pada akhir masa kesusahan. Sehingga untuk sampai pada pendirian terhadap
satu pandangan diperlukan konsistensi dalam menelaah Alkitab.











[1] Paul E. Little, Kutahu Yang Kupercaya (Bandung: Kalam
Hidup, 2000), 161.




[2] Louis Berkhof, Systematic Theology (Grand Rapids:
Eerdmans, 1984), 696.




[3] Thiessen mengatakan: “Kita
mendapati bahwa Kristus akan datang di udara dan pada saat itu beberapa hal
akan terjadi di udara, kemudian kita melihat bahwa Ia akan datang di bumi dan
beberapa peristiwa akan terjadi di bumi.” Henry C. Thiessen, Teologi Sistematika (Malang: Gandum Mas,
2008), 536.




[4] Walvoord dikutip oleh Paul
Feinberg. 51, Paul D, Feinberg, ed. Stanley N. Gundy Three Views on the Rapture (Grand Rapids: Zondervan Publishing,
1996), 51.




[5] Ibid, 50-86.




[6] Millard J. Erickson, Contemporary Options in Eschatology
(Grand Rapids: Baker Books House, 1988), 163.




[7] Erickson, Contemporary, 145.




[8] Ibid, 152-159.




[9] Gundry, Three Views on the Rapture, 50.




[10] Paul D. Feinberg, ed. Stanley N.
Gundry, Three Views on the Rapture
(Grand Rapids: Zondervan Publishing, 1996), 50-52.




[11] Thiessen, 585.




 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

ShareThis