Suatu ketika, ada seorang anak
laki-laki bersifat pemarah. Untuk mengurangi kebiasaan marah sang anak, ayahnya
memberikan sekantong paku dan mengatakan pada anak itu untuk memakukan paku di
pagar belakang setiap kali dia marah. Hari pertama anak itu telah memakukan 48
paku ke pagar setiap kali ia marah. Lalu secara bertahap jumlah itu berkurang.
Dia mendapati bahwa ternyata lebih mudah menahan amarahnya daripada memakukan
paku ke pagar.
Akhirnya tibalah hari dimana anak
tersebut merasa sama sekali bisa mengendalikan amarahnya dan tidak cepat
kehilangan kesabarannya. Dia memberitahukan hal ini kepada ayahnya, yang
kemudian mengusulkan agar dia mencabut satu paku untuk setiap hari dimana dia
tidak marah. Hari-hari berlalu dan anak laki-lakki itu memberitahu ayahnya
bahwa semua paku telah tercabut olehnya. Lalu sang ayah menuntun anaknya ke
pagar. “Hmmm kamu telah berhasil dengan baik anakku, tapi, lihatlah
lubang-lubang di pagar ini. Pagar ini tidak akan pernah kembali seperti kondisi
sediakala. “Ketika kamu mengatakan sesuatu dalam kemarahan. Kata-katamu
meninggalkan bekas seperti lubang ini…di hati orang lain. Kamu dapat menusukkan
pisau pada seseorang, lalu mencabut pisau itu. Tetapi tidak peduli berapa kali
kamu minta maaf, luka itu akan tetap ada. Dan luka karena kata-kata adalah sama
buruknya dengan luka fisik.”
Dari ilustrasi sederhana ini kita
dapat melihat betapa berbahayanya kata-kata yang keluar dari mulut yang tidak
dikendalikan, tidak heran Rasul Yakobus (Yakobus 3:1-12) menasehati dan
mendorong jemaat untuk berhati-hati menggunakan lidah mereka. Rasul Yakobus
melihat bahaya yang dapat terjadi jika orang percaya tidak dapat mengekang
lidahnya. Pembicaraan yang negatif seumpama api, yang pada awalnya kecil, tapi
dapat membakar sebuah hutan yang besar (ay. 5). Demikian pula dengan setiap
perkataan sia-sia yang keluar dari mulut kita dapat merusak persahabatan,
rumah-tangga, dan kesatuan Tubuh Kristus. Menguasai lidah memang tidak mudah.
Meski demikian kita harus tetap berusaha melakukannya agar memiliki lingkungan
sosial yang sehat di manapun kita berada. Jika hal ini terjadi, maka damai
sejahtera benar-benar akan kita rasakan.
Sebab itu, hindarilah setiap
perkataan yang sia-sia dan yang tidak membangun. Janganlah mengisi pikiran kita
dengan pembicaraan orang-orang yang disebut small people, yang hanya berbicara
soal harta benda, kekayaan, kedudukan dan gosip! Lebih baik membicarakan
ide-ide baru dan apa yang bisa kita lakukan untuk membangun kualitas kehidupan
yang lebih baik. ”Awasilah
mulutku ya Tuhan, berjagalah pada pintu bibirku!” (Maz 141:3).
Hati-hatilah
dengannya
Seorang guru tengah menjelaskan
kepada para muridnya tentang kekuatan kata-kata terhadap reaksi seseorang.
Seorang muridnya berdiri dan memprotes, “Saya tidak setuju, Guru. Mana mungkin
kata-kata punya efek besar terhadap diri kita!” Sang Guru membentak, “Duduk!
Dasar anak bodoh!” Muka murid itu merah padam, malu bercampur marah, “Saya
tidak menyangka Guru bisa berkata sekasar itu.” Sang guru berkata dengan suara
lembut, “Maafkan saya yang terbawa perasaan. Saya benar-benar menyesal.” Murid
itu pun menjadi tenang. Kemudian sang guru berkata lagi, “Lihat, hanya
diperlukan beberapa kata untuk membangkitkan amarahmu dan dibutuhkan beberapa
kata juga untuk menenangkan dirimu. Itulah kekuatan kata-kata!”
Tidak sedikit masalah yang terjadi
dalam hidup kita bersumber dari ketidakmampuan kita memilih kata-kata yang
keluar dari mulut. Firman Tuhan hari ini mengingatkan, betapa berbahayanya jika
kita tidak mampu menguasai lidah kita; tidak bijak memilih dan memilah perkataan
yang terucap. Yakobus membandingkan lidah dengan api, yang walaupun kecil,
dapat membakar hutan yang besar (ayat 5). Api bisa bermanfaat, tetapi juga bisa
menghanguskan. Seperti itulah lidah.
Maka, betapa pentingnya kita
mengendalikan lidah. Berkata-kata hanya kalau itu bermanfaat, membawa
berkat—meneduhkan, menghibur, menguatkan, memotivasi. Sebaliknya, kalau kita
tahu itu tidak ada faedahnya apa-apa, tidak jelas kebenarannya, bahkan mungkin
menyakiti orang lain, mendemotivasi, membuat perpecahan dan memanaskan suasana,
lebih baik kita tidak usah berbicara. Dalam situasi demikian, diam berarti
emas.
Solusi untuk kita memiliki sumber
yang benar agar kata-kata yang keluar dari mulut kita ini menjadi berkat bagi
orang lain adalah dengan menempel pada Pokok Anggur yang benar, yaitu TUHAN
YESUS KRISTUS. Pohon anggur tentu menghasilkan buah-buah anggur, bukan buah
lainnya. Jika kita menjadi ranting dari Pokok Anggur YESUS KRISTUS, maka buah
yang kita hasilkan adalah juga buah-buah seperti yang dihasilkan oleh YESUS
KRISTUS. Apa yang kita katakan adalah perkataan YESUS, yaitu Firman TUHAN.
Bukan sekedar Firman sebagai tulisan, tetapi Firman yang disertai kuasa Roh
Kudus yang sangat dahsyat.
Hati yang dikuduskan oleh bara yang
diambil dari mezbah, yakni api Roh Kudus akan membuat lidah kita mengaku bahwa
Tuhan Yesus adalah ALLAH kita, sehingga kita memiliki hidup. Perkataan kita
akan menjadi perkataan yang menghidupkan, menyembuhkan, penuh berkat dan damai
sejahtera. Sebaliknya hati yang dikuasai oleh si jahat, maka lidah orang itu
akan mengucapkan kutuk yang membunuh dirinya sendiri dan menyebabkan kematian
orang lain. Jadi kita sendirilah yang menentukan apakah kita akan menikmati
kehidupan atau memperoleh kematian.
Dengan hati yang telah diperbaharui
oleh Roh Kudus, perkataan yang diucapkan oleh lidah kita bukan perkataan yang
menyebabkan kita bersalah, tetapi justru menjadi berkat bagi orang lain.
Perkataan Yakobus, “Janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru”
dapat kita ubah “Marilah kita semua menjadi guru”. Hati yang telah diperbaharui
membuat kita berani menjadi guru, berani mengajar dengan perkataan kita, sebab
perkataan kita adalah kebenaran yang bersumber dari Firman TUHAN. GBU (IS)
No comments:
Post a Comment
Thanks so much for taking the time to leave a comment :)